Perkembangan Metaverse

 

Foto: Louise Prajna & Naufal Razzan

 Metaverse, sebuah istilah yang semakin sering terdengar dalam pembicaraan dalam dunia teknologi dan inovasi masa depan. Konsep ini telah menarik minat banyak orang, tetapi masih banyak pertanyaan yang perlu dijawab.

Dalam artikel ini, kita akan ditemani Louise Prajna dan Naufal Razzan. Keduanya adalah mahasiswa Prodi Cyber Security, IT, Universitas Bina Nusantara yang pastinya memiliki wawasan mendalam mengenai teknologi ini! Di sini, kita akan menjelajahi dunia Metaverse, mengeksplorasi potensinya, serta membahas beberapa isu terkait yang perlu diperhatikan. Apa saja, sih, hal itu?


1. Apa itu Metaverse?

Metaverse mengacu pada dunia virtual yang melibatkan kombinasi antara realitas fisik dan digital. Mulanya metaverse dibuat oleh Facebook. Awalnya, Mark Zuckerberg ingin menghubungkan user ke dunia daring, di mana dunia nyata seluruhnya masuk ke dunia maya. Contohnya meeting online tapi menggunakan augmented reality (AR) dan virtual reality (VR), termasuk membentuk avatar para penggunanya.

Untuk saat ini, teknologi ini masih dikenal dalam dunia game. Akan tetapi, sebenarnya metaverse tak berguna dalam permainan. Menurut Louise dan Naufal dunia game adalah transisi awal metaverse sebelum ke arah fundamental yang mengerjakan pekerjaan masif.

“Kita harus balik dulu, game itu sebenarnya apa, sih? Game berfungsi untuk orang bersenang-senang. Sementara metaverse? Memang bisa digunakan untuk bersenang-senang, tetapi tujuan utamanya bukan itu. Melainkan untuk menghubungkan. Dia tuh kayak media sosial, cuma kita bisa memproyeksi avatar kita ke dunia online tadi,” papar Naufal.


2. Aksesibilitas Metaverse untuk Berbagai Kelas Sosial

Meskipun saat ini teknologi Metaverse mungkin membutuhkan investasi yang signifikan, seperti perangkat keras khusus dan akses internet yang cepat. Menurut Louise, perkembangan teknologi yang pesat dapat menghasilkan harga yang lebih terjangkau di masa mendatang.

“Awalnya mungkin tidak terjangkau, tetapi time by time, suatu saat, selayaknya teknologi seperti AI dan sebagainya, mungkin kedepannya akan lebih murah.”


3.Perangkat Lunak dan Perangkat Keras untuk Metaverse

Pastinya, metaverse membutuhkan perangkat lunak dan perangkat keras yang canggih. Perangkat keras yang dibutuhkan dapat berupa headset VR atau AR, sensor gerak, atau perangkat input lainnya. Kriteria perangkat keras meliputi kualitas tampilan grafis, tingkat responsivitas, serta kenyamanan pengguna dalam jangka waktu yang lama.

Tambahan lain, menurut Naufal, untuk perangkat keras jelas setiap teknologi membutuhkan server. “Sekarang server pun nggak perlu fisik, ada pula yang namanya cloud. Server cloud ini adalah server lingkungan sendiri. Untuk Facebook sendiri, kemungkinan menyewa ke AWS (Amazone Web Service). Mungkin bisa juga bikin server sendiri, tapi biayanya di awal kan lebih mahal, tapi untuk jangka panjangnya lebih murah. Dan menurut saya, facebook kemungkinan bikin sendiri, karena dia perusahaan besar.”

“Sementara untuk perangkat lunak mencakup platform virtual dan aplikasi yang memungkinkan pengguna untuk mengakses, ada kemungkinan Facebook akan membuat software tersendiri supaya pengguna bisa langsung gunakan.”


4.Kebutuhan dari Teknologi Metaverse dalam Lima Tahun ke Depan

Di bidang pendidikan, metaverse dapat digunakan untuk pembelajaran interaktif, simulasi, bahkan absensi melalui metaverse. Di bidang bisnis, metaverse dapat menghadirkan pertemuan virtual, pameran produk, dan pengalaman belanja yang lebih mendalam.

Di bidang hiburan, metaverse dapat menyediakan platform untuk konser virtual, pertunjukan seni, dan pengalaman game yang luar biasa. Bahkan dalam bidang pariwisata, kita juga dapat mengelilingi dunia dalam sekejap dengan teknologi ini, umroh misalnya.

Di sisi lain, Louise memiliki opini sendiri mengenai fungsi metaverse dalam 15 tahun ke depan, “Inginnya sih, memudahkan segalanya, tapi at least jangan 100% mudah, karena semuanya harus tertata dengan baik, jangan mengurangi jumlah manusia dalam pekerjaan.”


5. Ancaman dan Serangan Siber yang Terkait dengan Metaverse

Menurut Naufal, ancaman siber sendiri sebenarnya memiliki letak kesalahan pada developer atau pembuatnya. Karena developer adalah manusia, kemungkinan membuat kesalahan yang tidak disadari dan memingkinkan orang yang berniat jahat menyadari dan mengeksploitasinya

“Misalkan, jika kita beli tanah (di metaverse), tapi ada bug, dan ada (kriminal/hacker) bisa beli tanpa pakai duit, jadi dia beli tanah justru pakai cheat engine,” jelas Naufal.

Sementara dari segi teknologi, menurut Louise, justru menghindari kemungkinan teknologi ini berujung menggantikan manusia. “Maka kita sendiri yang harus membatasi hal tersebut, jadi dari segi pengembangannya pun jangan terlalu masif, setidaknya perlu yang namanya pembatasan, jangan terus memaksakan teknologi itu lebih canggih daripada manusia sendiri.”


6. Perkembangan Metaverse di Indonesia

Di Indonesia, perkembangan Metaverse masih dalam tahap awal. Menurut keduanya, perkembangan metaverse di Indonesia sendiri tidak akan lebih masif dari luar negeri. Mengingat permasalahan ekonomi, UMR, dsb. Apalagi masyarakat Indonesia pun belum sepenuhnya memiliki smartphone. Jadi transisinya akan lambat untuk dari working offline menjadi working on metaverse. Bahkan dalam 15 tahun, kita sendiri belum tentu terkoneksi dengan internet secara merata.

Nah, itu dia yang bisa kita selidiki dari perkembangan metaverse yang ada hingga saat ini, Sobat Katarasa! Bagaimana? Sudah siapkah kamu menelusuri lebih dalam, atau bahkan minat berinvestasi dalam teknologi ini di masa depan?


Reporter: Oktaviana Permatasari

Editor: Putri Nurhaliza

Admin Blogspot: Deta Sekar Tanandar 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berbagai Kafe yang Menarik di Jatinangor

Memerangi Patriarki

Tempat Nongkrong Anak Muda dengan Konsep NTT